Selasa, 15 April 2014

PERNIKAHAN BEDA AGAMA


PERNIKAHAN BEDA AGAMA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Masail Fiqhiyah

Dosen Pengampu :
Dra. Hj. Nina Nurmila, MA.,Ph.D
Dr. H. Hasbiyallah, M.Ag





Disusun oleh :

Abdul Rohman     (1211202004)
Enjang Hudaya    (1211202043)
Eros Rosmawati   (1211202044)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
 SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
1435 H / 2014 H





KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji hanyalah milik Allah swt, Tuhan semesta alam yang dengan  qudrah dan inayah-Nya kita dapat memahami segala isyarat ilmu pengetahuan yang ditujukan oleh-Nya kepada kita. Serta dengan qudrah dan inayah-Nya pula kita dikaruniai akal sebagai alat untuk memahami segala ayat-ayat tentang kekuasaan-Nya yang semata-mata digunakan untuk ketaatan kita kepada-Nya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabiyyina wa Habibina Muhammad Saw. Sebagai khatamun nabiyyin dan usawah hasanah bagi kita.
Alhamdulillah, makalah kecil ini telah penyusun selesaikan tepat pada waktunya. Mengingat telah banyak usaha yang penyusun lakukan untuk mencari dan memahami segala yang berkaitan dengan materi di dalamnya. Makalah ini berjudul Penikahan Beda Agama dibuat sebagai Tugas terstruktur mata kuliah Masail Fiqhiyah.
Makalah kecil ini tidak luput dari sebuah kekurangan dan kelemahan. Untuk itu kritik dan saran sangat penyusun harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penyusun sampaikan teriring do’a :
جزاكم الله خيرا كثيرا
    Bandung, 31  Maret 2014


     Penyusun





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan ................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 4
A.    Pengertian Pernikahan ....................................................................................... 4
B.     Nikah Beda Agama dalam UU Perkawinan ...................................................... 7
C.     Pernikahan Beda Agama Menurut Pandangan Islam ........................................ 11
D.    Problem Psikologis yang Muncul dari Pasangan Suami-Istri yang Berbeda Agama 15
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 19     
A.    Simpulan  ........................................................................................................... 19
B.     Kritik  ................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 20   






BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
            Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
            Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
            Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
            Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
            Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja  terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
            Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.
            Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat  tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Dari permasalahan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      bagaimana Pengertian Pernikahan Menurut UU di Indonesia dan menurut Islam?
2.      bagaimana Pengertian Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia?
3.      bagaimana Penikahan Beda Agama Menurut Islam?
4.      bagaimana  Problem psikologis yang muncul dari pasangan suami-istri yang berbeda agama.?


C.    Tujuan Masalah
1.            Menambah khazanah keilmuan tentang pengertian pernikahan beda Agama
2.            Mengetahui tentang pernikahan beda agama menurut UU
3.            Mengetahui tentang pernikahan beda agama menurut Agama
4.            Mengetahui dan memahami tentang Problem psikologis yang muncul dari pasangan suami-istri yang berbeda agama



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”  dan secara terminologi pernikahan adalah akad yang dilakukkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja. Pernikahan bertujuan menentramkan jiwa dan melestarikan keturunan sebagaimana firman Allah Swt.
ª!$#ur Ÿ@yèy_ Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& Ÿ@yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur Nä3s%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# 4 È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr& tbqãZÏB÷sムÏMyJ÷èÏZÎ/ur «!$# öNèd tbrãàÿõ3tƒ ÇÐËÈ  
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. Al-Nahl : 72)
Pernikahan pada hakikatnya bersatunya dua manusia (lelaki dan perempuan) yang  berbeda  satu sama lain, tetapi dapat disatukan dengan ikatan keimanan. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk menikah dengan wanita-wanita musyrik atau pun sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan laki-laki musyrik. Karena keimanan merupakan prinsip utama dalam perkawinan. Hukum menikah dengan non muslim akan di bahas dalam bab ini.
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud   perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya adalah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang berdasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tentram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir dan batin.
Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat terwujud jika suami istri mempunyai keyakinan yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama,  yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama  makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya. Ketentuan di atas berdasarka firman Allah SWT.
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr&  ÇËËÊÈ  
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. (QS. Al- Baqarah:221)
Perselisihan diantara ulama berkaitan dengan hukum menikah dengan orang yang berbeda agama adalah dilatarbelakangi oleh masalah status orang yang berbeda agama apakah mereka termasuk kategori ahli kitab atau bukan. Adapun ulama yang menghukumi boleh menikah dengan orang yang berbeda agama dikarenakan mereka di anggap sebagai ahli kitab. Sedangkan ulama yang tidak dibolehkan menikah dengan orang yang berbada agama dikarenakan mereka dianggap sebagai orang musyrik yang tgelah mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT.
            Dalil dibolehkan menikah dengan ahli kitab didasarkan kepada firman Allah SWT:
 àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB ö... Nä3Î=ö6s% ÇÎÈ  
Artinya: Dan Dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu (QS. Al-Maidah : 5)
Selain berdasarkan ayat di atas, juga didasarkan Sunah Nabi SAW yang pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita yahudi. Sedang para sahabat sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
            Namun demikian ulama yang tidak membolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama seperti Kristen, Budha, dan lain-lain karena pada dasarnya dalam agama mereka itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya pada ajaran Kristen terdapat ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan Ibunya Maryam sebagai Tuhan.
            Ulama yang membolehkan menikah dengan orang berbeda agama pun dibatasi hanya pada pria muslim.  Adapun pada wanita muslimah tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki yang berbeda agama, karena didasarkan pada ijma’ para ulama. Karena dikhawatirkan wanita muslimah itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran gamananya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anaknya melebihi ibunya.
B.     Nikah Beda Agama dalam UU Perkawinan
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1.      Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2.      UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3.      UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4.      PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5.      Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, “Dengan perumusan pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas manafsirkan pasal 2 (1), “Bagi orang islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendir. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu  atau Budha seperti dijumpai di Indonesia.
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk diperbincangkan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa “ perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Oleh karena itu dikalangan para ahlli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang undang-undang perkawinan bila dihubingkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f), dimana pasal tersebut berbunyi, “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang nerlaku, dilarang kawin.”
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama dalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitukberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk dan patuh pada hukumyang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak hanya mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menuru tatacara yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-peraturan lama sepanjang undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk pada Peratuan  Perkawinan Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antara orang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama menentuan boleh tidaknya tergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 (1) jo 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kapada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama. Untuk  itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang melakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu  dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannnya perkawinan beda agama dengan syarat bahwa pihak yang bukan protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya di langsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Budha melarang dilakukannya perkawinan beda agama.
Sebada dengan ungkapan diatas, Daud Ali berpendapat berkaitan dengan pernikahan beda agama, diantaranya.
1.      Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaanya dalam Negeri Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah juga menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia.
2.      Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpanan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dari Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.

C.    Pernikahan Beda Agama Menurut Pandangan Islam
            Beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
Pertama, wanita Islam dengan pria bukan Islam, Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya nikah dengan pria non Islam. Dasar keharamannya termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah/2:221.
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr&  ÇËËÊÈ  
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. (QS. Al- Baqarah:221)
            Firman Allah diatas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki non Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam haram hukumnya nikah dengan laki-laki non Islam baik laki-laki musyrik atau ahlukitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam adalah pasangannya haris laki-laki Islam.
            Tidak bolehnya wanita muslimah menikahi orang yang berbeda agama dikuatkan oleh firman Allah tentang perempuan-perempuan mukminah yang turut hijrah ke madinah:
÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 ÇÊÉÈ  
Artinya: Maka jika kamu  telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu halal pula bagi mereka.” (Q.S al-Mumtahanah:10).
Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumannya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim nikah dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumah tangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan.
            Kedua, pria Islam dan wanita bukan Islam. Dalamkitabnya, Tafsir ayat Al-Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna mushanat dalam ayat 5 Surat Al-Maidah;
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB ö... Nä3Î=ö6s% ÇÎÈ  
Artinya: Dan Dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu (QS. Al-Maidah : 5)
            Demikian pula Ali Al-Shabuni menjelaskan  dalam kitab tafir ayat Al-Ahkam-nya bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan ahlullkitab. Sedangkan mufassir lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan dirinya.
            Adapun dasar keharaman mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah SWT.
((#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ  
Artinya: “mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allahdan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At-Taubah :31)
Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam. Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan menikah dengan seorang kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu :
1.      Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samaw. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi.
2.      Wanita kitabiyah yang bukan muhsanahah (memeliharan kehormatan diri dari perbuatan zina).
3.      Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang.
4.      Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tidak ada terjadi fitnah, yaitu mufsadat ataukemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW, pernah menyatakan “La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan).”
Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim:
1.      Akan berpengaruh pada perimbangan antara Wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami.
2.      Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan.
3.      Perkawinan dengan wanita non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa, dan budaya. Misalnya, seorang Muslim Timur kawin dengan Kitabiyah Eropa atau Amerika.
Sedangkan dalam Al-Qur’an dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa, “Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin nikah dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya.”
Dalam fatwa MUI pada tahun 1980 ditetapkan bahwa perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki ahlulkitab adalah haram hukumnya. Landasan atsa penerpan fatwa ini adalah zhahir nash al-Quran. Sementara, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlulkitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mufsadahnya lebih besar dari pada masalahnya, Majlis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut haram.
            Dengan demikian, pengharaman perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlulkitab didasarkan pada prinsip sadd adz dzariah, mencegah lahirnya mafasadah yang lebih besar, mengingat sekalipun ada mashlahah yang akan didapat, namun mafsadahnya lebih besar.
            Kemudian pada Munas VII pada 28 Juli 2005 menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Demikian juga, perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlulkitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
D.    Problem Psikologis yang Muncul dari Pasangan Suami-Istri yang Berbeda Agama.
Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama. Pada mulanya, terutama sewaktu masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga.
Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Begitu pun ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama,betapa indahnya melakukan kebaktikan di gereja bersanding dengan suami.Namun itu hanya keinginan belaka.
Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama ibunya.Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh.
Bahwa karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan.Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi.
Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan matangmatang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen.Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing. Mengapa agama menjadi persoalan?
Karena agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit,keyakinan,dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga.Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa.Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga.
Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama.Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Jadi, sepanjang pengamatan saya, secara psikologis pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah.
Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis.
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Seorang teman bercerita, ada seorang suami yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar istrinya yang beragama Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi muslim.
Dengan segala kesabarannya sampai dikaruniai dua anak, istrinya masih tetap kokoh dengan keyakinan agamanya.Tapi harapannya belum juga terwujud dan bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.
Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di atas tentu saja merupakan kasus, tidak bijak dibuat generalisasi. Namun pantas menjadi pelajaran.
Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua pernikahan pasangan berbeda agama yang kelihatannya baik-baik saja. Cuma kebetulan yang datang pada saya yang bermasalah.
Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anakanaknya.
Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.







BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan

Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan  beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1.         Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama  tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2.         Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.       

B.     Saran

Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa :
a.          Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.
b.      Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan antar agama