MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen
Pengampu :
Dra. Hj. Nina
Nurmila, MA.,Ph.D
Dr. H.
Hasbiyallah, M.Ag
Disusun
oleh :
Abdul Rohman (1211202004)
Enjang Hudaya (1211202043)
Eros Rosmawati (1211202044)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
1435 H / 2014 H
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن
الرحيم
Segala puji hanyalah milik Allah swt, Tuhan
semesta alam yang dengan qudrah dan
inayah-Nya kita dapat memahami segala isyarat ilmu pengetahuan yang ditujukan
oleh-Nya kepada kita. Serta dengan qudrah dan inayah-Nya pula kita dikaruniai
akal sebagai alat untuk memahami segala ayat-ayat tentang kekuasaan-Nya yang
semata-mata digunakan untuk ketaatan kita kepada-Nya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan
kepada Nabiyyina wa Habibina Muhammad Saw. Sebagai khatamun nabiyyin
dan usawah hasanah bagi kita.
Alhamdulillah, makalah kecil ini telah
penyusun selesaikan tepat pada waktunya. Mengingat telah banyak usaha yang
penyusun lakukan untuk mencari dan memahami segala yang berkaitan dengan materi
di dalamnya. Makalah ini berjudul “Penikahan
Beda Agama”
dibuat sebagai Tugas terstruktur mata
kuliah Masail Fiqhiyah.
Makalah kecil ini tidak luput dari sebuah
kekurangan dan kelemahan. Untuk itu kritik dan saran sangat penyusun harapkan
untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penyusun sampaikan teriring do’a :
جزاكم
الله خيرا كثيرا
Bandung, 31 Maret 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar
Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan ................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 4
A. Pengertian
Pernikahan ....................................................................................... 4
B. Nikah
Beda Agama dalam UU Perkawinan ...................................................... 7
C. Pernikahan
Beda Agama Menurut Pandangan Islam ........................................ 11
D. Problem
Psikologis yang Muncul dari Pasangan Suami-Istri yang Berbeda Agama 15
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 19
A. Simpulan
........................................................................................................... 19
B. Kritik
................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat
dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita
dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam
membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara
pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun
1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan
hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat
penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan
tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama
menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara.
Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuan agama.
Perkawinan
beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat
penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan
yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan
sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan
dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai
realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa
sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih
saja terjadi dan akan terus terjadi
sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang
pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti
perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara
dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye,
Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan
Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan
antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi
jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan
menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan
bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini
terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama,
dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda
agama yang dilakukan diluar negeri.
Dari
kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama,
menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat
dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan
Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Dari
permasalahan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
bagaimana Pengertian Pernikahan Menurut UU di Indonesia dan menurut
Islam?
2.
bagaimana Pengertian Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia?
3.
bagaimana Penikahan Beda Agama Menurut Islam?
4.
bagaimana Problem psikologis yang muncul dari pasangan
suami-istri yang berbeda agama.?
C.
Tujuan Masalah
1.
Menambah khazanah keilmuan tentang pengertian pernikahan beda Agama
2.
Mengetahui
tentang pernikahan beda agama menurut UU
3.
Mengetahui
tentang pernikahan beda agama menurut Agama
4.
Mengetahui
dan memahami tentang Problem psikologis yang muncul dari pasangan
suami-istri yang berbeda agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan” dan secara terminologi pernikahan adalah akad
yang dilakukkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan
dengan sengaja. Pernikahan bertujuan menentramkan jiwa dan melestarikan
keturunan sebagaimana firman Allah Swt.
ª!$#ur @yèy_ Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& @yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur Nä3s%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# 4 È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr& tbqãZÏB÷sã ÏMyJ÷èÏZÎ/ur «!$# öNèd tbrãàÿõ3t ÇÐËÈ
Artinya: Allah
menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil
dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. Al-Nahl : 72)
Pernikahan pada hakikatnya bersatunya dua manusia (lelaki dan
perempuan) yang berbeda satu sama lain, tetapi dapat disatukan dengan
ikatan keimanan. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk menikah dengan
wanita-wanita musyrik atau pun sebaliknya, perempuan muslim menikah dengan
laki-laki musyrik. Karena keimanan merupakan prinsip utama dalam perkawinan. Hukum
menikah dengan non muslim akan di bahas dalam bab ini.
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan, yang dimaksud perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para
penganutnya adalah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT
adalah suatu perkawinan yang berdasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan
ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu,
kehidupan suami-istri akan tentram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga
mereka akan bahagia kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir dan batin.
Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas
akan dapat terwujud jika suami istri mempunyai keyakinan yang sama, sebab
keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami
istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga,
misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan
tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain sebagainya. Ketentuan di atas berdasarka firman Allah SWT.
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã
4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB
7px.Îô³B öqs9ur …öNä3÷Gt6yfôãr& ÇËËÊÈ
Artinya: Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. (QS. Al- Baqarah:221)
Perselisihan diantara ulama berkaitan dengan hukum menikah dengan
orang yang berbeda agama adalah dilatarbelakangi oleh masalah status orang yang
berbeda agama apakah mereka termasuk kategori ahli kitab atau bukan. Adapun
ulama yang menghukumi boleh menikah dengan orang yang berbeda agama dikarenakan
mereka di anggap sebagai ahli kitab. Sedangkan ulama yang tidak dibolehkan
menikah dengan orang yang berbada agama dikarenakan mereka dianggap sebagai
orang musyrik yang tgelah mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT.
Dalil dibolehkan menikah dengan ahli
kitab didasarkan kepada firman Allah SWT:
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB ö...
Nä3Î=ö6s% ÇÎÈ
Artinya: Dan Dihalalkan
mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu (QS. Al-Maidah : 5)
Selain berdasarkan ayat di atas, juga didasarkan Sunah Nabi SAW yang
pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (kristen).
Demikian pula seorang sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah
kawin dengan seorang wanita yahudi. Sedang para sahabat sedang para sahabat
tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian ulama yang tidak
membolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama seperti Kristen, Budha, dan
lain-lain karena pada dasarnya dalam agama mereka itu mengandung unsur syirik
yang cukup jelas, misalnya pada ajaran Kristen terdapat ajaran trinitas dan
mengkultuskan Nabi Isa dan Ibunya Maryam sebagai Tuhan.
Ulama yang membolehkan menikah
dengan orang berbeda agama pun dibatasi hanya pada pria muslim. Adapun pada wanita muslimah tidak dibolehkan
menikah dengan laki-laki yang berbeda agama, karena didasarkan pada ijma’ para
ulama. Karena dikhawatirkan wanita muslimah itu kehilangan kebebasan beragama
dan menjalankan ajaran-ajaran gamananya, kemudian terseret kepada agama
suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya
dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai
kepala keluarga terhadap anak-anaknya melebihi ibunya.
B. Nikah Beda Agama dalam UU
Perkawinan
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di
Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1.
Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2.
UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3.
UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4.
PP No. 9/1975 tentang Peraturan
Pelaksana UU No. 1/1974
5.
Intruksi
Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam
mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan.
Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam
pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas
bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon
suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang
memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum
Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi,
karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila
terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka
semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU
No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa
beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang
dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974
tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal
10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Di dalam
penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, “Dengan perumusan pasal 2 (1) ini, tidak
ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas
manafsirkan pasal 2 (1), “Bagi orang islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendir. Demikian juga bagi orang Kristen
dan bagi orang Hindu atau Budha seperti
dijumpai di Indonesia.
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik
untuk diperbincangkan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam
bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa “ perkawinan antaragama tersebut
merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita yang
berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaaan perkawinan sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Oleh karena itu dikalangan para ahlli dan praktisi hukum, kita
jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang undang-undang perkawinan
bila dihubingkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab
pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf
(f), dimana pasal tersebut berbunyi, “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang nerlaku, dilarang kawin.”
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama dalah sah dan
dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga
pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan
campuran menitukberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk dan patuh pada
hukumyang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak hanya mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang
yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menuru tatacara yang
diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama
sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa
peraturan-peraturan lama sepanjang undang-undang itu belum mengatur masih dapat
diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah
merujuk pada Peratuan Perkawinan
Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya
penentuan boleh tidaknya perkawinan antara orang yang berbeda agama sehingga
lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum
agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh
atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan
antaragama menentuan boleh tidaknya tergantung pada hukum agama dan seluruh
pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 (1)
jo 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya
kapada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau
tidaknya perkawinan beda agama. Untuk
itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di
Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang
melakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat memberikan dispensasi untuk melakukan
perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannnya perkawinan
beda agama dengan syarat bahwa pihak yang bukan protestan harus membuat surat
pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya di langsungkan di gereja Protestan,
dan (3) Agama Hindu dan Budha melarang dilakukannya perkawinan beda agama.
Sebada dengan ungkapan diatas, Daud Ali berpendapat berkaitan dengan
pernikahan beda agama, diantaranya.
1.
Perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah
menurut agama yang diakui keberadaanya dalam Negeri Republik Indonesia. Dan,
karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang
tidak sah menurut hukum agama, tidak sah juga menurut Undang-Undang Perkawinan
Indonesia.
2.
Perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama adalah penyimpanan dari pola umum perkawinan yang benar menurut
hukum agama dari Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk
penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu
dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi
perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta
hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak
konstitusional, juga tidak legal.
C.
Pernikahan
Beda Agama Menurut Pandangan Islam
Beberapa pandangan ulama mengenai
beberapa teks ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
Pertama, wanita Islam dengan pria bukan Islam, Seluruh ulama sejak
zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya
nikah dengan pria non Islam. Dasar keharamannya termaktub dalam Al-Qur’an surah
Al-Baqarah/2:221.
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur …öNä3÷Gt6yfôãr& ÇËËÊÈ
Artinya: Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. (QS. Al- Baqarah:221)
Firman Allah diatas menegaskan
kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki non
Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam haram hukumnya nikah
dengan laki-laki non Islam baik laki-laki musyrik atau ahlukitab. Dengan begitu
dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam
adalah pasangannya haris laki-laki Islam.
Tidak bolehnya wanita muslimah
menikahi orang yang berbeda agama dikuatkan oleh firman Allah tentang
perempuan-perempuan mukminah yang turut hijrah ke madinah:
÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# (
w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; (
Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4
wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& …4 ÇÊÉÈ
Artinya: Maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka
benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami)
orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu halal pula bagi mereka.” (Q.S al-Mumtahanah:10).
Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena
itu hukumannya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim nikah
dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah
kepala rumah tangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap
perempuan.
Kedua, pria Islam dan wanita bukan
Islam. Dalamkitabnya, Tafsir ayat Al-Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna
mushanat dalam ayat 5 Surat Al-Maidah;
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB ö...
Nä3Î=ö6s% ÇÎÈ
Artinya: Dan
Dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al kitab sebelum kamu (QS. Al-Maidah : 5)
Demikian pula Ali Al-Shabuni
menjelaskan dalam kitab tafir ayat
Al-Ahkam-nya bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari
perempuan-perempuan mukmin dan perempuan ahlullkitab. Sedangkan mufassir
lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah
perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan dirinya.
Adapun dasar keharaman mengawini
seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka.
Firman Allah SWT.
((#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur (
Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4
¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
Artinya: “mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allahdan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At-Taubah :31)
Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang
pria Islam. Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan menikah dengan
seorang kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang
wajib untuk diperhatikan, yaitu :
1.
Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada
ajaran samaw. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama
samawi.
2.
Wanita kitabiyah yang bukan muhsanahah
(memeliharan kehormatan diri dari perbuatan zina).
3.
Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada
pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah
dilarang.
4.
Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu
tidak ada terjadi fitnah, yaitu mufsadat ataukemurtadan. Makin besar
kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan
keharamannya. Nabi Muhammad SAW, pernah menyatakan “La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan).”
Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang
akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim:
1.
Akan berpengaruh pada perimbangan antara
Wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak
kawin dengan laki-laki muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami
diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan
ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami.
2.
Suami mungkin terpengaruh oleh agama
istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah
benar-benar menjadi kenyataan.
3.
Perkawinan dengan wanita non-Muslimah
akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan
anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah
air, bahasa, dan budaya. Misalnya, seorang Muslim Timur kawin dengan Kitabiyah
Eropa atau Amerika.
Sedangkan dalam Al-Qur’an dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan
penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan
bahwa, “Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan
tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi
perempuan-perempuan mukmin nikah dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki
lainnya.”
Dalam fatwa MUI pada tahun 1980 ditetapkan bahwa perkawinan wanita
Muslimah dengan laki-laki ahlulkitab adalah haram hukumnya. Landasan atsa
penerpan fatwa ini adalah zhahir nash al-Quran. Sementara, tentang perkawinan
antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlulkitab terdapat perbedaan pendapat.
Setelah mempertimbangkan bahwa mufsadahnya lebih besar dari pada masalahnya,
Majlis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut haram.
Dengan demikian, pengharaman
perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlulkitab didasarkan pada
prinsip sadd adz dzariah, mencegah
lahirnya mafasadah yang lebih besar, mengingat sekalipun ada mashlahah yang
akan didapat, namun mafsadahnya lebih besar.
Kemudian pada Munas VII pada 28 Juli
2005 menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Demikian juga, perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita
Ahlulkitab menurut qaul mu’tamad
adalah haram dan tidak sah.
D.
Problem
Psikologis yang Muncul dari Pasangan Suami-Istri yang Berbeda Agama.
Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina
belasan tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan
agama. Pada mulanya, terutama sewaktu masih pacaran, perbedaan itu dianggap
sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap
saja menganga.
Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi
umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut
bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih
memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah
menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Begitu pun ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat
batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika
pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen
misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama,betapa indahnya melakukan
kebaktikan di gereja bersanding dengan suami.Namun itu hanya keinginan belaka.
Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama
ibunya.Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi
pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini
pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan
teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu
untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting
terpelihara dan tumbuh.
Bahwa karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu
keniscayaan.Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan
pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan
saling melengkapi.
Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama
menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan
suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan
matangmatang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin
terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama
yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau
ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen.Anak yang mestinya menjadi
perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber
perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.
Mengapa agama menjadi persoalan?
Karena agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup.
Spirit,keyakinan,dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang
beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga.Di sana terdapat ritual-ritual
keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan
rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau
ritual berpuasa.Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara
kompak oleh seluruh keluarga.
Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam
lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai
hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika
pasangan hidupnya berbeda agama.Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Jadi,
sepanjang pengamatan saya, secara psikologis pernikahan beda agama menyimpan
masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu
agama akan terbebas dari masalah.
Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia
selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk
memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi
lebih dewasa dan kritis.
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin
suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Seorang teman bercerita, ada
seorang suami yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar istrinya yang
beragama Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi muslim.
Dengan segala kesabarannya sampai dikaruniai dua anak, istrinya
masih tetap kokoh dengan keyakinan agamanya.Tapi harapannya belum juga terwujud
dan bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi
masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Ada suatu kehangatan dan
keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.
Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak
lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari
keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu
tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di atas tentu saja merupakan kasus,
tidak bijak dibuat generalisasi. Namun pantas menjadi pelajaran.
Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta
mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak
berbagai masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua pernikahan pasangan
berbeda agama yang kelihatannya baik-baik saja. Cuma kebetulan yang datang pada
saya yang bermasalah.
Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada
yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang
dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis
orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anakanaknya.
Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase
anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana
nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik,
tentulah kurang bagus bagi anak.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai
berikut :
1.
Undang-Undang
No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan
beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal
2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2.
Perkawinan antar agama dapat
juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan
cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.
B. Saran
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan
beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka
bersama ini kami sarankan bahwa :
a.
Perlu rumusan ulang atau revisi
tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum
Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.
b.
Dalam revisi terhadap
Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi mereka yang
ingin melakukan perkawinan antar agama.